LGBTIQ, Masihkah Gereja Memiliki Peranan?
Oleh: Ribka Novianti (Mahasiswi di UKRIDA, Jakarta)
LGBTIQ adalah singkatan dari lesbian, gay, biseksual, transgender, interseksual, dan queer. Awalnya sekitar tahun 1990-an merujuk pada komunitas gay. Seiring dengan perkembangan zaman melingkupi lebih banyak orientasi seksual dan beragam identitas gender.
Tercatat hingga tahun 2015 ada 23 negara yang telah melegalkan undang-undang pernikahan sesama jenis. Di antaranya Belanda, Belgia, Kanada, dan terakhir adalah Amerika Serikat. Berbeda hal Asia dengan adat ketimurannya. Masih belum mengakui LGBTIQ secara terbuka. Namun salah satu negara Asia yang sudah terbuka adalah Thailand. Bahkan terdapat 18 jenis kelamin yang diakui pemerintah Thailand. Melihat realitas ini penting rasanya bertanya sejauh apa peran gereja.
Peran gereja menjadi ironi. Gereja di Kanada seperti Anglikan dan United Church of Canada telah menerima LGBTIQ di dalam komunitas gereja. Bahkan telah mengangkat kaum LGBTIQ sebagai pemimpin gereja serta menikahkan pasangan sesama jenis.
Pendeta Stanley Underhill dalam autobiografinya yang berjudul Coming Out of The Black Country menulis “Saya terlahir sebagai homoseksual. Saya tidak memilih itu. Saya telah menghabiskan banyak waktu dalam hidup saya berharap bahwa saya lahir normal. Saya secara sadar menekan homoseksualitas saya, dari diri saya, dari orang lain dan dari Tuhan”. Pendeta Stanley baru berani terbuka menyatakan bahwa dirinya gay di usia 91 tahun. Dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang tidak modern sulit bagi Stanley untuk terbuka. Terlebih saat di bangku sekolah Stanley mengalami perundungan.
Berbeda dengan Gereja Katolik Roma yang dengan tegas menolak LGBTIQ. Mereka menekankan bukan kaum LGBTIQ secara pribadi yang mereka benci namun gaya hidup LGBTIQ. Gereja karismatik termasuk dalam kelompok yang menolak dengan keras kaum LGBTIQ.
Sebagian gereja menolak LGBTIQ dengan alasan pertama, bertentangan dengan perintah Tuhan. Imamat 18:22 mencatat: “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian.” Lalu Imamat 20:13 “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya memainkan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa untuk mereka sendiri.”
Alkitab secara tegas mencatat hal ini. Rasul Paulus berkata dalam Roma 1:26-27 “Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka”. Kedua, tidak sesuai dengan tujuan awal penciptaan manusia. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka (Kejadian 1:27). Tuhan tidak menciptakan jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan.
Indonesia sampai dengan saat ini belum memiliki undang-undang yang melarang ataupun melegalkan pernikahan sesama jenis. Adapun undang-undang yang mengatur tentang perkawinan tertuang dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974. UU ini menjelaskan bahwa perkawinan yang sah dan diakui hanya perkawinan antara seorang pria dan wanita.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada tahun 2016 pernah mengeluarkan pernyataan pastoral PGI tentang LGBTIQ yang ditujukan kepada seluruh pimpinan gereja anggota PGI. Surat pastoral PGI ini menekankan pentingnya menghormati setiap manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, tidak melakukan kekerasan maupun diskrimasi terhadap kelompok LGBTIQ yang dianggap berbeda dengan orang pada umumnya. Tentu saja hal ini menimbulkan pro kontra pada gereja-gereja di bawah naungan PGI.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak kaum LGBTIQ adalah pengikut Tuhan Yesus yang taat. Gereja Komunitas Anugerah (GKA) berterus terang dan terbuka menerima LGBTIQ sebagai anggota jemaat. Berdiri sejak tahun 2013 sebagai perkumpulan akhirnya berkembang menjadi gereja.
“GKA menerima minoritas seksualitas, gender, kelompok yang distigma. Ekspresi iman Kristen terlihat secara konkrit dari bagaimana kita memperlakukan orang-orang tersebut,” ujar Suarbudaya Rahadian, pendeta GKA.
Seiring dengan perkembangan zaman telah terjadi pergeseran norma. Kaum LGBTIQ dianggap tidak lagi memalukan serta lebih berani bersuara. Menyatakan di berbagai media dan berkampanye bahwa LGBTIQ memiliki hak asasi manusia yang berhak diperlakukan sama dan setara. Hak asasi untuk melakukan pernikahan sesama jenis.
Gereja sebagai perpanjangan tangan Allah di dunia menyadari bahwa kehidupan LGBTIQ bertentangan dengan Firman Tuhan. Gereja tidak boleh tinggal diam. Gereja harus bergerak tanpa menghakimi. Merangkul kaum LGBTIQ dengan mempersiapkan dan memberikan pelayanan konseling profesional. Membimbing agar kembali kepada tujuan awal manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan. Membuka pintu gereja selebar-lebarnya agar kaum LGBTIQ dapat merasakan kasih Allah.
Siapakah sesamamu manusia? Bukankah Yesus mengatakan “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri?” Apakah kaum LGBTIQ bukan termasuk dalam golongan sesama kita manusia? Seharusnya bukan kaum LGBTIQ secara pribadi yang kita hindari, namun pilihan mereka yang bertentangan dengan Firman Tuhan. Sudah siapkah gereja membuka diri menerima mereka sebagai bagian dari perwujudan kasih Allah kepada manusia?